Rabu, 24 April 2013

Permainan Tradisional Melatih Kejujuran dan Kerjasama.


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Seandainya bisa melalukan yang baik dan benar, kenapa masih melakukan yang tidak baik dan tidak benar.
Alay boleh
Gaul boleh
Se7……….tidak
Setuju……ya
Biasakan melakukan yang baik dan benar biar bisa terbawa dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau untuk berubah lebih baik.
Seandainya anak-anak sekarang masih suka main Congklak ?
Banyak jenis permainan tradisional yang harganya murah tapi bisa dipakai untuk mengajarkan sesuatu yang sangat mahal. Salah satunya adalah congklak. Ingat ‘kan permainan ini?
Bila anak kita kini sudah tidak mengenalnya lagi, saatnya kita mulai memperkenalkannya. Bila sudah mengenal, tapi kesulitan menemukan pasangan main, kita perlu member diri. Ajaklah dia main congklak. Atau, ajarkan adiknya atau kakaknya.
Meski permainan ini sederhana, tapi sangat bagus bila kita gunakan untuk melatih ketangkasan dalam berhitung atau juga sangat bagus untuk melatih hafalan.
Di samping itu, permainan ini juga bisa kita gunakan untuk melatih kejujuran. Kejujuran itu tidak bisa dibentuk dengan hanya memberi pengetahuan atau pengajaran, misalnya menyuruh harus jujur.
Yang paling dibutuhkan adalah memberi pengalaman dan pembiasaan. Ini yang akan membentuk sikap, sifat, dan karakter. Congklak adalah salah satu permainan yang melatih tentang itu.
https://www.sahabatnestle.co.id/Page/arsip/artikel/ajaklah-bermain-congklak
http://maripeduli.blogspot.com/
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Mengandung Seribu Filosofi 15 Ribu Egrang Pecahkan Rekor Muri
PURWAKARTA banjir egrang. Begitu pantauan Wartawan LINGKAR JABAR, Tryas Hendrayana. Sejuta mata mengarah saat upaya pemecahan Musium Rekor Indonesia (MURI) berlangsung. Rekor 15 ribu peserta egrang terpecahkan. Terlihat semangat pengegrang melangkah menapaki bumi “Wibawa Karta Raharja”.
Perhelatan akbar ini, mencatat sejarah besar pada rangkaian kegiatan hari jadi Kabupaten ke 44 yang dikenal sebagai daerah sumber Waduk Jatiluhur. Umur ke 44 kabupaten ini berdasarkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang, SK Wali Negeri Pasundan diubah dan ditetapkan Pembentukan Kabupaten Purwakarta dengan Wilayah Kewedanaan Purwakarta. Sekaligus HUT yang ke 181 bagi Purwakarta, berdasarkan masa pemerintahan Bupati R A Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830, saat ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih yang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) Pemerintah Kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2.
Permainan tradisional Jawa Barat ini, dimulai dari Jalan Sudirman hingga finis di Jalan Kolonel Kornel Singawinata. Tepatnya sampai ke gedung kembar, Nakula – Sadewa. Sontak mendapat apresiasi seluruh warga Purwakarta. Semua peserta terlihat beratraksi di atas dua batang bambu, sembari diiringi sejumlah musik tradisional. Seperti Pencak Silat dan musik tradisional rakyat lainnya yang turut memeriahkan festival egrang tersebut.
Tidak hanya puluhan ribu peserta egrang yang menjadi perhatian masyarakat. Parade Sate Maranggi makanan khas Purwakarta yang diikuti sekitar 50 pedagang juga menjadi tontonan menarik. Termasuk pagaleran artis ibu kota yang menyuguhkan group band Pagetos serta penampilan pelawak kondang Ohank, menambah semarak festival egrang Purwakarta tahun 2012.
Penyerahan MURI disampaikan Ngadri mewakili Jaya Suprana. Menyatakan, puluhan ribu egrang telah memenuhi kota Purwakarta. Ini menggambarkan bagaimana masyarakat Purwakarta menatap ke depan menuju Purwakarta yang Istimewa. Di mana Muri mencatat, parade egrang sebelumnya dipegang oleh Majene yang mengerahkan sekitar 4.122 peserta egrang.
Setelah dinahkodai Dedi Mulyadi, Purwakarta untuk kedua kalinya menorehkan tinta di atas Piagam MURI sebagai penghargaan pemecahan rekor yang menghadirkan 14.570 peserta egrang. Tahun 2011 lalu, Purwakarta juga berhasil mengantongi rekor MURI yang telah menghadirkan puluhan ribu tumpeng.
Digelarnya festival egrang 2012 ini, kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, menjadi indikator tingginya masyarakat mengapresiasi pemerintah daerah terhadap permainan tradisional tersebut. Sebab festival egrang, merupakan perhatian Pemerintah Kabupaten Purwakarta untuk menggalakkan kembali permainan tradisional yang ada di masyarakat.
Kata Dedi, permainan tradisional tidak pernah mendapatkan tempat yang terhormat. Namun yang dilakukan oleh Pemkab Purwakarta, justru menempatkan permainan tradisional egrang di posisi yang terhormat. Yakni dalam sebuah momentum yang juga dapat dirasakan oleh seluruh warga masyarakat Purwakarta.
Melihat antusias yang ada, Dedi memastikan ke depannya telah ada sebuah unggulan bagi masyarakat Purwakarta. Yakni permainan tradisonal egrang. Purwakarta sebagai tujuan wisata di Jawa Barata, tidak saja kaya akan kuliner tapi juga kaya akan permainan tradisional. Sehingga, nantinya kabupaten ini menjadi tujuan wisata, baik wisatawan regional, nasional, maupun mancanegara.
Menurutnya, festival tersebut bukan hanya hura-hura bagi para pesertanya. Tapi juga memiliki pesan bahwa kita tidak boleh melupakan bambu yang menjadi filosofi dasar bagi masyarakat Jawa Barat. Permainan egrang, juga bermakna ketahanan air, bumi, udara dan ketahanan lainnya. “Dengan demikian, makna-makna tersebut menjadi sebuah pegangan bagi kita,” kata Dedi.
Seribu Filosofi
Egrang selain merupakan permainan tradisional, juga memiliki seribu filosofi bagi seseorang dalam meniti perjalanan dan kehidupannya. Salah satunya, keseimbangan mengendalikan egrang, mengandung arti seseorang telah mampu menjaga keseimbangan dan mampu menyeimbangkan dan menyatukan dirinya dengan alam di sekitarnya. Kecuali itu, egrang juga sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Permainan egrang, sebenarnya kaya akan filosofi. Dan yang tampak jelas, adalah mengajarkan tentang keseimbangan dan juga keberanian. Dengan bermain egrang seseorang diajarkan bahwa dalam menjalani kehidupan harus disertai dengan keseimbangan antara jasmani dan rohani. Egrang atau jangkungan juga mengandung filosofi kepemimpinan.
Bahkan menggambarkan pemimpin bangsa atau politisi yang diibaratkan berada di atas. Dengan posisi di atas, mereka mampu melihat jauh ke depan dibanding dengan rakyat yang berada di bawah. Para pemain egrang, tahu betul bahwa kontrol tetap berada ditangannya. Sensitivitasnya ada di kaki, sehingga harus mengetahui mau kemana melangkah.
Kekuatan di bawah, diibaratkan aspirasi dari rakyat yang dibawanya. Karenanya, bagi para politisi semestinya menerapkan filosofi dan konsep egrang, agar seluruh garis kekuasaan politisi tersebut bisa sampai kepada rakyat yang ada dibawahnya. Artinya pemimpin harus memiliki wawasan jauh ke depan dibanding rakyatnya.
Dalam permainan egrang, para pemain atau pesertanya harus melihat ke bawah pijakan. Sehingga langkah kakinya dapat berjalan sempurna, dan tidak terjatuh. Ini juga memiliki filosofi bagi para eksekutif (para pejabat), di mana para pejabat harus melihat ke bawah (rakyat) dan tidak berani melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan masyarakat.
Bupati juga menyatakan, ketika seseorang menaiki egrang tentu saja harus melihat ke bawah. Artinya, siapapun yang naik dan berada di posisi atas, jangan sampai melupakan yang dibawahnya. Filososi egrang, juga berlaku baik untuk jajaran eksekutif maupun legiaslatif. Karena persoalan politik, selama ini tidak lagi berdasarkan nilai kebudayaan.
Berbagai nama untuk Egrang, seperti Jawa Barat akarab dengan sebutan Egrang atau Jejangkungan. Permainan ini sejatinya sering dimainkan oleh anak-anak hampir di seluruh penjuru Indonesia. Namun dengan julukan yang berbeda-beda. Mulai dari Tengkak-Tengkak di Sumatera Barat, Ingkau di Bengkulu, Batungkau di Kalimantan Selatan hingga Tilako di Sulawesi Tengah.
Alat ke Sekolah
Kendati memiliki perbedaan nama, namun media permainannya tetap sama. Berupa permainan yang menggunakan batang kayu atau bambu yang diberi pijakan untuk berjalan. Namun egrang juga bukan hanya sekedar media untuk bermain, tetapi memiliki filosofi tersendiri. Ini menjadi dasar keyakinan Bupati Purwakarta H Dedi Mulyadi SH melestarikan permainan tradisional tersebut.
Bahkan rencananya, tahun depan Pemerintah Kabupaten Purwakarta akan mengeluarkan kebijakan baru. Di mana setiap siswa sekolah yang rumahnya dekat dengan sekolah harus menggunakan Egrang dari rumah ke sekolahnya. Kebijakan tersebut bertujuan, agar mereka menjadi siswa yang terlatih dalam menjaga keseimbangan.
“Jika dirinya sudah seimbang, maka dia akan bisa menyeimbangkan dengan alam di sekitarnya. Seperti anak-anak di Cina, mereka terbiasa menggunakan Egrang. Anak-anak tersebut, sangat mahir berjalan di atas bambu. Dengan demikian, fisik mereka menjadi lebih kuat. Dan cara anak-anak di Cina ini, perlu diadopsi oleh anak-anak Purwakarta,” kata Dedi.
Sikap itu berupa langkah konkrit agar egrang tidak hanya menjadi permainan yang dimainkan setiap setahun sekali. Melainkan dibiasakan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari itu, permainan tradisional ini tidak memgalami kepunahan. Selain itu, anak-anak juga akan memiliki fisik yang kuat dan tahan terhadap serangan penyakit.(**)
Egrang Sebagai Media Belajar
Melalui pertemuan yang inspiratif di Semarang. Forum Wedangan yang diadakan oleh AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia) yang dilakukan oleh JRU (Jaringan Rumah Usaha) beberapa waktu yang lalu. Sulit menghapus ingatan dibenak saya betapa ada orang-orang yang sangat serius dengan kewirausahaan sosial. Bahkan hingga kinipun saya belum bisa mendefinisikan dengan baik tapi mereka malah sudah pada jalan.
Pada saat berkenalan dengan Ciciek Farha, beliau sempat menanyakan lokasi Ledokombo. “Hayo dimana Ledokombo?” Barangkali dulu googlemap-pun belum bisa mengidentifikasikan. Namun kini serasa tidak sulit jika kita mau mengetikkannya di search engine.
Keberhasilan pemperkenalkan Ledokombo dengan aktivitasnya yang cukup prestisius yaitu egrang menjadi kata kunci yang mudah diingat. Iya betul, egrang adalah mainan anak-anak yang biasanya terbuat dari bambu dan membuat anak-anak seolah menjadi orang jangkung.
Kenapa Ciciek Farha memualai dari sana? Jawaban yang betul silakan cari sendiri jika perlu kunjungi Ledokombo. Bagi saya pilihan itu bukan sekedar iseng namun penuh strategi. Mendekati anak-anak Ledokombo yang awalnya banyak ditinggal orang tuanya menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) diberbagai negara lain membuat sentuhan atau aktivitas anak-anak ini agak berbeda.
Ciciek Farha berinisiatif membuat program yang bernama tanoker (bahasa Madura = kepompong) yaitu mengajak anak-anak belajar sambil bermain dengan media egrang. Lambat laun pendidikan anak-anak di Ledokombo semakin baik demikian juga dengan perkembangan egrang. Festival engrang beberapa kali juga diadakan disana. Bahkan anak-anak dan egrangnya seringkali diundang dieven-even anak-anak secara nasional di Jakarta.
Nah untuk informasi selanjutnya silakan kunjungi Ledokombo atau minimal ke
 http://www.tanoker.org/index.php/berita/58-festival-egrang-ledokombo-jember-revitalisasi-budaya-lokal-untuk-sebuah-proses-perubahan-sosial.html
Selamat terus berjuang mbak Ciciek. Kontribusi Anda turut membangun generasi muda patut dicontoh.
http://jodijigo.blogspot.com/2012/09/egrang-sebagai-media-belajar.html
http://maripeduli.blogspot.com/
Permainan Tradisional Miliki Makna Untuk Kehidupan
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jabar Herdiwan Iing Suranta mengungkapkan, permainan tradisional memiliki filsafah kehidupan yang berbeda dengan permainan modern dari barat.
Pasalnya, permainan tersebut memiliki makna khusus yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sosial maupun politik.
“Olahraga tradisional punya arti khusus seperti permainan Perepet Jengkol, dalam bermain atlet harus memiliki jiwa kebersamaan sehingga kaki mereka dapat bersatu sampai dengan selesai permainan. Hal itu menunjukan jiwa bergotong royong dalam kebersamaan,” terang Herdiwan kepada wartawan di sela pembukaan Lomba Permainana Tradisional (Alimpaido) Jabar 2011 di Lapangan Tegar Beriman, Cibinong Kabupate Bogor, Sabtu (17/9/2011).
Sedangkan dalam permainan Egrang, sambung Herdiwan, para atlet harus melihat ke bawah pijakan, sehingga langkah kakinya dapat berjalan sempurna dan tidak terjatuh.
“Melalui permainan Egrang ada filosofinya bahwa para pejabat harus melihat rakyatnya dan tidak korupsi saat memimpin,” tuturnya.
Dibanding permainan modern seperti game di komputer, menurut Herdiwan, justru lebih banyak tidak manfaatnya seperti kesehatan anak terganggu dan harus mengeluarkan biaya cukup besar.
“Bermain game modern uang keluar banyak dan mata rusak, tidak seperti permainan tradisional, tidak perlu biaya,” pungkasnya

0 komentar:

Posting Komentar